Table of Content

Alasan Kenapa Bank Syariah Kurang Diminati di Indonesia?

Bank syariah kurang diminati karena literasi rendah, stigma negatif, dan inovasi terbatas. Simak faktor dan solusi untuk tingkatkan minat masyarakat.
kenapa Bank Syariah Kurang Diminati di Indonesia?

Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, bank syariah seharusnya memiliki potensi pasar yang besar. Namun, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pangsa pasar bank syariah hanya sekitar 7,38% dari total industri perbankan.

Angka ini menimbulkan pertanyaan, kenapa bank syariah kurang diminati meskipun menawarkan sistem keuangan berbasis prinsip Islam yang bebas riba?

Faktor-faktor seperti literasi keuangan yang rendah, stigma negatif, hingga keterbatasan inovasi produk menjadi penyebab utama. Artikel ini akan mengulas alasan di balik rendahnya minat masyarakat terhadap bank syariah secara netral, dengan mempertimbangkan sudut pandang sosial, ekonomi, dan regulasi.

Kurangnya Pemahaman Masyarakat tentang Bank Syariah

Salah satu hambatan utama adalah rendahnya literasi keuangan syariah. Berdasarkan data OJK 2019, indeks literasi keuangan syariah hanya mencapai 8,93%, jauh di bawah literasi keuangan nasional sebesar 38%.

Banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara bank syariah dan konvensional, seperti konsep akad, bagi hasil, dan penghindaran riba. Akibatnya, bank syariah sering dianggap sama dengan bank konvensional, hanya berbeda dalam istilah.

Istilah-istilah seperti murabahah (jual beli), mudharabah (kerja sama permodalan), dan musyarakah (bagi hasil) sering kali terdengar asing bagi masyarakat awam.

Kurangnya sosialisasi dan edukasi membuat masyarakat enggan mencoba produk syariah, seperti tabungan syariah atau KPR syariah, karena dianggap rumit atau tidak menguntungkan.

Stigma Negatif terhadap Label Syariah

Bank syariah sering dikira eksklusif untuk umat Islam, padahal layanannya bersifat universal dan terbuka untuk semua kalangan. Stigma ini membuat non-Muslim ragu memanfaatkan produk syariah, seperti pembiayaan syariah atau asuransi syariah.

Selain itu, sebagian masyarakat menganggap bank syariah kurang menguntungkan karena tidak menggunakan sistem bunga, melainkan bagi hasil. Padahal, sistem bagi hasil ini justru dirancang untuk lebih adil, karena keuntungan atau kerugian dibagi bersama antara bank dan nasabah.

Ada juga anggapan bahwa bank syariah tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah. Beberapa masyarakat mempertanyakan kepatuhan bank syariah terhadap fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, terutama dalam praktik akad seperti murabahah.

Ketidakpercayaan ini diperparah oleh pengalaman nasabah yang merasa proses administrasi di bank syariah lebih rumit dibandingkan bank konvensional.

Keterbatasan Produk dan Inovasi

Bank syariah sering dianggap memiliki produk yang kurang variatif dibandingkan bank konvensional. Meskipun menawarkan produk seperti deposito syariah, kartu kredit syariah, dan KPR syariah, fitur dan fleksibilitasnya masih kalah bersaing.

Misalnya, layanan digital seperti mobile banking dan pembayaran digital di bank syariah sempat tertinggal, meskipun beberapa tahun terakhir sudah menunjukkan perbaikan.

Selain itu, bank syariah menghadapi tantangan dalam menciptakan produk keuangan yang kompetitif. Bank konvensional sering menarik nasabah dengan undian berhadiah atau suku bunga tinggi, sementara bank syariah terikat pada prinsip syariah yang melarang praktik semacam itu. Akibatnya, nasabah yang mencari keuntungan cepat cenderung memilih bank konvensional.

Faktor Infrastruktur dan Regulasi

Aksesibilitas layanan bank syariah juga menjadi kendala. Jumlah cabang dan ATM bank syariah masih jauh lebih sedikit dibandingkan bank konvensional, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. Hal ini menyulitkan masyarakat untuk mengakses layanan seperti pembiayaan syariah atau tabungan syariah.

Dari sisi regulasi, meskipun pemerintah mendukung ekonomi syariah, pelaksanaan kebijakan yang memfasilitasi pertumbuhan bank syariah belum optimal.

Sebagai contoh, di Malaysia, pemerintah memberikan insentif pajak dan menempatkan sebagian dana APBN di bank syariah, yang membantu pertumbuhan industri.

Di Indonesia, kurangnya koordinasi antarotoritas dan visi yang selaras menghambat ekspansi bank syariah.

Sumber Daya Manusia dan Modal

Kualitas sumber daya manusia (SDM) di bank syariah juga menjadi isu. Banyak akademisi dan profesional keuangan di Indonesia lebih memilih mempelajari ekonomi konvensional karena dianggap lebih mudah dan mapan. Akibatnya, tenaga ahli yang menguasai fiqih muamalah dan perbankan syariah masih terbatas.

Selain itu, permodalan bank syariah umumnya lebih kecil dibandingkan bank konvensional. OJK mencatat bahwa dari 12 bank umum syariah, 10 di antaranya memiliki modal inti kurang dari Rp2 triliun.

Modal terbatas ini menghambat bank syariah untuk memperluas cabang, mengembangkan infrastruktur, atau berinovasi dalam produk keuangan.

Potensi Masa Depan Bank Syariah

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, bank syariah memiliki potensi besar di Indonesia. Pertumbuhan nasabah bank syariah dalam 3–5 tahun terakhir menunjukkan tren positif, meskipun belum mampu menyaingi bank konvensional.

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ekonomi berbasis syariah, bank syariah dapat menjadi alternatif yang menarik, terutama bagi mereka yang mencari sistem keuangan yang adil dan bebas riba.

Dengan pendekatan yang tepat, seperti edukasi yang masif, inovasi produk, dan dukungan regulasi, bank syariah berpeluang untuk diterima lebih luas. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK), dan masyarakat akan menjadi kunci untuk mewujudkan potensi ini.

Posting Komentar